Senin, 18 Januari 2010

Nestapa Minyak dan Gas Indonesia


Apa kaitannya UU No. 22/2001 tentang Migas dengan lumpur Lapindo? Menurut pengamat perminyakan Dr. Kurtubi jawabnya tentu sangat erat. Dalam suatu seminar di Institut Teknologi Indonesia di kota Tangerang Selatan beberapa hari lalu, ia menjelaskan keluarnya material (seperti lumpur) dari dalam perut bumi saat pengeboran minyak bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Ada 13 kejadian hampir mirip yang pernah dialami oleh Pertamina ketika masih memegang penuh kewenangan eksplorasi dan eksploitasi perminyakan di Indonesia. Seluruhnya berhasil ditangani dengan (lebih) cepat dan (lebih) baik (ah jadi ingat slogan salah satu Capres negeri ini).
UU Migas tersebut lahir menggantikan UU No. 8/1971. Dengan itu beralihlah Kuasa Pertambangan (KP) dari Pertamina ke Menteri ESDM. Makna Kuasa Pertambangan di sini adalah wewenang untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Di dalam pasal 12, KP tersebut selanjutnya diserahkan kepada para pelaku usaha. Di kemudian hari, Mahkamah Konstitusi menghapus kata "wewenang" itu.
Menurut Kurtubi, di sinilah pangkal soalnya. Kontrak kerjasama migas ditandatangani oleh BP Migas dan investor, padahal BP Migas tidak memiliki Kuasa Pertambangan. Di samping itu, sebagai lembaga pemerintah yang menjadi pengendali kekayaan migas nasional, BP Migas berstatus BHMN yang tidak memiliki peralatan & personel, dan yang terutama dia bukanlah perusahaan. Saat terjadi kasus lumpur Lapindo, kelemahan BP Migas di lapangan menjadi terbukti di mana langkah-langkah penanganannya menjadi sangat lamban. Akibatnya persoalan pun merumit, hingga tidak selesai-selesai sampai sekarang. Itu hanyalah satu contoh saja dari beberapa kesalahan lain yang fatal akibat penerapan UU Migas yang baru. Karenanya, UU tersebut harus dicabut, begitu seru Kurtubi.
Kita paham bahwa dalam skala kecil, misal sebuah perusahaan bisa berubah jika tersedia sesuatu sebagai change driver. Hal itu bisa berwujud teknologi atau yang lainnya. Masyarakat atau negara pun begitu. Change driver-nya bisa berupa peraturan atau UU. Peraturan yang baik dipastikan akan membawa perubahan yang baik kepada seluruh komponen masyarakat (dan tentunya negara).
Namun dalam hal pengelolaan pertambangan umum, negeri ini ternyata masih saja mewarisi skema konsesi jaman penjajahan Belanda, yakni model Kontrak Karya yang didasarkan atas Indische Mijnwet 1890. Model ini memiliki 2 kelemahan pokok:
Royalti yang diterima negara sangat kecil, sekitar 3% untuk emas, nikel, perak, tembaga, dan lainnya. Adapun untuk batubara sekitar 13,5%.
Managemen sepenuhnya di tangan investor. Pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk mengontrol produksi, biaya, harga jual, pemasaran dan lain-lain.

Memang untuk sektor migas keadaan lebih baik (?), dalam arti model Kontrak Karya seperti dalam pertambangan umum tidak dipakai. Gantinya adalah model Production Sharing Contract, di mana royalti yang didapat negara adalah 85% dan ada mekanisme kontrol terhadap investor, yakni dalam diri BP Migas. Namun harus diingat, sisa potensi penerimaan yang 15% lepas ke investor (masih suatu jumlah yang sangat besar). Tambahan lagi, BP Migas tidak mempunyai benchmark dari pengalaman sendiri atas biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Kontraktor PSC tersebut. Karena itu BPK dan BPKP pernah menemukan potensi kerugian yang sangat besar di BP Migas sehingga kini ada 17 negative list yang tidak boleh dimasukkan ke dalam komponen cost recovery.
Padahal ke depan, sumberdaya hidrokarbon Indonesia masih sangat menjanjikan bagi para investor. Ada sekitar 120 cekungan yang relatif besar dengan minyak dan gas yang terjebak di dalamnya. Rasio Reserves to Production negeri ini adalah 23 tahun untuk minyak, 62 tahun untuk gas dan 146 tahun untuk batubara. Artinya, untuk gas saja selama 62 tahun ke depan masih akan bisa dinikmati oleh rakyat Indonesia (?).
Karena itu perlu ada perubahan pola fikir dan peraturan dari penyelenggara negara yang harus didukung oleh berbagai komponen masyarakat Indonesia yang (insya Allah) religius ini. Sehingga kesalahan tadi dan lainnya seperti penjualan LNG Tangguh yang diserahkan kepada perusahaan minyak BP ke Cina tahun 2002 tidak boleh terulang di mana ada potensi kerugian negara sekitar US$ 75 milyar selama 25 tahun dari tahun itu! Belum lagi adanya ketidakjelasan status kepemilikan atas cadangan minyak dan gas yang ada di perut bumi akibat UU Migas tersebut. Dan yang tidak kalah penting disebut, ada pula upaya menghilangkan peran negara dalam pengelolaan minyak dan gas, antara lain dengan membuka jalan bagi privatisasi Pertamina (Kurtubi, 2009).
Sementara di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa air, padang gembala (hutan), dan api (energi) adalah milik bersama manusia (Hadits dari Abu Khuraisy). Dari sini bisa disimpulkan bahwa pertambangan minyak dan gas sebetulnya adalah milik bersama (umum). Haram untuk dimiliki oleh personal. Maka agar bisa dimanfaatkan oleh stakeholder, negaralah (sebagai wakil masyarakat umum) yang kemudian harus mengeksplorasi dan mengeksploitasinya. Jika dibutuhkan industri pengilangan maka negaralah yang harus membangunnya di mana status industri itu juga adalah milik umum (karena bahan bakunya yang berupa minyak atau gas adalah juga milik umum).
Dengan mengadopsi pandangan tersebut hilanglah ketidakjelasan status kepemilikan minyak dan gas di dalam perut bumi. Dengan begitu tertutup pula peluang model Production Sharing Contract yang memberikan porsi 15% bagi investor, apalagi model Kontrak Karya. Karena hakikatnya sekalipun 1% diberikan kepada investor, itu sudah mengurangi kebulatan 100% kepemilikan umum minyak dan gas tersebut. Selanjutnya, Pertamina pun akan tetap survive sebagai institusi yang berhak mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan gas negeri ini sekaligus menutup jalan privatisasi terhadapnya.

link

0 komentar:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Powered by Blogger and Supported by Lincah.Com - Mitsubishi Cars